Senin, 30 Januari 2012

Asal Mula Bungkuko Pusaka (Part 2, End)

Bailungku ditinggal sendirian di pulau terpencil sebagai akibat rasa iri dari para pembesar yang begitu berambisi untuk menjadi raja. Syahdan, di Banggai para pemuka adat sudah menunggu kedatangan para pembesar yang pergi ke Ternate dan mempersiapkan segala sesuatu untuk upacara penobatan menjadi raja. Tetaoi apa yang terjadi? Sebelum rombongan tersebut datang, Bailungku sudah datang lebih dulu diantar seekor ikan yang biasa disebut Bakadut. Tuhan Maha Adil, atas kuasa-Nyalah ada seekor ikan besar menolong Bailungku dan membawanya pulang sebelum orang-orang yang mau mencelakakan dia datang. Karena kepercayaan tersebut, sampai sekarang penduduk di Desa Sambiut tidak ada yang mau memakan ikan Bakadut, karena ikan tersebut amat berjasa kepada nenek moyang mereka. Kepada para pemuka adat tersebut, Bailungku menceritakan apa yang terjadi di ternate. Bagaimana pula sikap para pembesar yang sengaja memperdaya dia agar dia celaka. Salah satu dari pemuka adat tersebut kemudian menyuruh Bailungku bersembunyi di suatu tempat, agar para pembesar yang datang nanti tidak melihat kedatangannya, yang mereka sangka masih tertinggal di pulau terpencil tersebut. Begitulah, ketika rombongan pembesar tersebut datang, pemuka adat pura-pura bertanya, siapa diantara mereka yang berhak menjadi raja. Ketika mereka menyebut salah satu dari mereka, pemuka adat lalu bertanya.
“tunggu dulu, apakah kalian mengenal pemuda ini?” tanya beliau sambil mengisyaratkan Bailungku untuk keluar dari persembunyiannya. Betapa terkejutnya para pembesar tersebut, melihat Bailungku yang masih segar bugar dan bisa datang mendahului mereka. Para pembesar itupun tidak bisa membantah, ketika ketua adat menyatakan bahwa yang berhak menjadi raja adalah Bailungku, bukan salah satu diantara mereka. Namun ketika mendengar keputusan ketua adat tersebut, Bailungku menyatakan keberatan untuk menjadi raja apabila para pembesar tersebut tidak rela. Kelihatannya para pembesar tersebut terlalu meremehkan Bailungku dan tidak rela dipimpin oleh Bailungku, maka diapun mohon diri untuk meninggalkan kerajaan teresebut.
Akhirnya Bailungku meninggalkan Banggai, dengan memakai sampan kecil dia menyusuri pantai (manisik) dan akhirnya dia merapat di dusun Salibantut. Setelah menambatkan perahunya, diapun kemudian berjalan ke arah barat. Setelah dia berjalan sekitar 3 kilometer dari pantai, ia pun tinggal di sebuah gunung yang mana tempat ini kemudian dikenal sebagai Bungkuko Pusaka. Dia amat dihormati penduduk di sekitarnya karena mereka percaya dia seorang yang amat sakti. Karena kepercayaan tersebut, orang-orang di kampung lain banyak yang sering mengunjunginya untuk meminta bantuan maupun petunjuk. Ketenarannya ini membuat para pembesar di Banggai menjadi khawatir kalah pengaruh,
maka berulang kali mereka memanggil Bailungku untuk menghadap, tetapi tidak pernah diindahkan oleh Bailungku. Bahkan, dia malah membuat pemerintahan sendiri, lepas dari kekuasaan Kerajaan Banggai. Meskipun usia Bailungku masih relatif muda, naluri kepemimpinannya memang pantas diandalkan. Dalam waktu yang singkat, dia bisa menguasai penduduk di sekitarnya sehingga menjadi sebuah kerajaan kecil dengan satu pemerintahan sendiri terlepas dari kerjaan Banggai.
Konon ketika Bailungku sudah beranjak dewasa, dia diundang dalam sebuah pesta di Balibang di desa Paisu Gong. Di dalam pesta inilah diceritakan Bailungku berkenalan dengan seorang bidadari. Dalam konteks ini, kemungkinan istri Bailungku adalah putri salah seorang bangsawan di kerajaan Banggai, yang sengaja mengutus putrinya untuk memikat Bailungku, agar dia tidak meneruskan pembangkangannya pada kerajaan Banggai. Terlepas benar atau tidak, kita lanjutkan saja ceritanya. Bailungku yang beristrikan bidadari ini kemudian memperoleh seorang putra yang mereka beri nama Adi Bungkuko. Mereka hidup bahagia, sampai pada suatu hari ketika Adi kira-kira baru belajar berjalan. Istri Bailungku kembali kepada orang tuanya. Adi yang masih kecil ditinggal bersama ayahnya. Akhirnya Bailungku tinggal berdua dengan anaknya dan mendidik Adi menjadi seorang satria yang perkasa. Setelah dia rasa Adi sudah cukup dewasa dan siap untuk ditinggal, berangkatlah Bailungku menyusul istrinya. Bailungku bertemu dengan ayah mertuanya, namun sayang istrinya tidak mau kembali ke Bungkuko Pusaka. Kemudian Bailungku pun disingkirkan oleh musuh-musuhnya. Dan Bailungku pun tak pernah kembali.
Adi Bungkuko sepertinya sudah siap untuk menggantikan kepemimpinan ayahnya dan tetap tidak mau tunduk kepada pemerintahan kerajaan Banggai. Keadaan ini membuat para pembesar di Kerajaan Banggai semakin penasaran dan marah. Berulang kali mereka mengirim pasukan untuk memerangi Adi dan berusaha membunuhnya. Hal ini pula yang menyebabkan Adi Bungkuko semakinmemperkuat penjagaannya, sehingga dia mengajak rakyatnya untuk membuat sebuah benteng yangg kuat dan kokoh mengelilingi istananya yang terletak di atas gunung. Mulai masa pemerintahan Adi inilah dimulai terselenggaranya kepemimpinan yang menyerupai pemerintahan di kerajaan Banggai. Kalau di Banggai berlaku pemerintahan bergilir keempat basalo (Basalo Sangkap), wilayah pemerintahan Adi ini berlaku pula kepemimpinan yang bergantian dari empat ­puak-puak yang berasal dari empat wilayah, yakni Bentean (wilayah bolonan dan sobonon), Alas (wilayah Sambiut), La (wilayah Tone) dan Batipuyu (wilayah Abason). Serangan demi serangan dari kerajaan Banggai bukannya membuat Adi mundur. Dia malah memperluas wilayahnya sampai hampir ke seluruh pulau peling. Menyadari kenyataan ini, maka kerajaan Banggai pun semakin gencar mengirim pasukannya untuk menumpas Adi dan ank buahnya. Pasukan demi pasukan mengalami kegagalan, dan sudah banyak korban berjatuhan dari kedua belah pihak.
Sampai pada suatu hari, ketika pasukan Kerajaan Banggai bersiap-siap untuk berperang ke pulau peling, lewatlah disitu Balatentara Kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh Mansanda, mahapatih dari Majapahit yang menurut keyakinan ahli sejarah di daerah ini, dia adalah Mahapatih Gajah Mada, yang pernah pula terkenal di daerah Makassar dengan panggilan Saweri Gading. Melihat pasukan kerajaan Banggai seperti siap-siap untuk perang besar, Mansanda bertanya; Mereka mau kemana? Ketika dijawab bahwa mereka mau pergi membunuh Adi Bungkuko, yang dikatakannya memberontak pada mereka, Mansanda menawarkan diri. Dia dan pasukannyalah yang akan membunuh Adi. Sebagai imbalannya mereka diperkenankan untuk singgah beberapa bulan di Kerajaan Banggai. Begitulah akhirnya pasukan dari Banggai urung berperang menuju Pulau Pelling, karena tugasnya akan ditangani oleh pasukan Mansanda. Pasukan Majapahit tersebut kemudian menuju pulau Pelling. Ketika Mansanda  ketemu dengan Adi, urunglah niatnya untuk membunuh pemuda perkasa tersebut. Mereka justru mengadakan persahabatan antar suku, bahkan ada beberapa pasukannya ditinggal di situ untuk menikahi putri-putri pulau Pelling. Itulah sebabnya sampai sekarang banyak sekali penduduk asli yang bernama seperti orang Jawa, sebab pada dasarnya nenek moyang mereka termasuk pula orang Jawa.
Tibalah saatnya Mansanda kembali ke kerajaan Banggai untuk menunjukkan bukti bahwa dia benar-benar telah membunuh Adi Bungkuko. Mansanda memang cukup cerdik, diambilnya tombak pusakanya, dibunuhnya seekor binatang, dibiarkannya darah masih menempel pada tombak tersebut. Sesampainya di Kerajaan Banggai, Mansanda pun menyerahkan bukti tombak pusaka tersebut, serta mengatakannya telah membunuh Adi. Dengan terpaksa dia kehilangan beberapa prajuritnya yang gugur dalam peperangan (padahal mereka sengaja ditinggal di pulau Pelling dan hidup bahagia bersama istri-istri mereka). Mereka pun percaya begitu saja. Sejak saat itulah pasukan kerjaan Banggai tak pernah lagi mengirim pasukannya untuk membunuh Adi Bungkuko. Mereka mengira adi Bungkuko sudah mati dibunuh oleh Mansanda. Sebagai imbalannya, rombongan dari Majapahit itu diijinkan untuk tinggal beberapa bulan di pulau Banggai.
Disinilah bisa kita lihat bagaimana kebijaksanaan seorang yang bernama Mansanda, yang menurut kepercayaan penduduk Banggai dan sekitarnya sebenarnya dia adalah Mahapatih Gajah Mada. Karena kebijaksanaan Mansanda atau Gajah Mada, pertumpahan darah antar saudara (perang saudara) bisa dihindarkan. Karena kebijaksanaan Mansanda pulalah, adanya suatu pertukaran budaya yang terjadi. Itulah sebabnya banyak budaya, tarian maupun permainan anak-anak yang mirip dengan budaya suku Jawa. Sampai sekarang, bekas keberadaan Mansanda, si orang yang maha besar dan bijaksana tersebut masih dikenal orang. Terbukti pada sebuah dusun di Wilayah Banggai Kepulauan ada sebuah parang yang maha besar. Konon benda ini milik Mansanda atau Gajah Mada yang ditinggal di dusun tersebut.
Demikianlah kisah tentang asal mula Bungkuko Pusaka. Suatu mitos yang sangat diyakini oleh penduduk asli Pulau Pelling, bahwa sebenarnya nenek moyang merekalah yang berhak menjadi Raja Banggai.

Karya Jar'an Abdul Fatah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar